Belajar, terkadang tak mesti tentang sesuatu yang baru. Adalah praktek pembibitan tanaman lada satu ruas dalam polybag pernah penulis pelajari dalam suatu pelatihan teknis yang diperuntukkan bagi para penyuluh pertanian lapangan (PPL). (Penulis pernah selama 12 tahun menjadi petugas PPL).
Kondisi melambungnya harga lada pada akhir-akhir tahun 2015 ini, diikuti dengan "semangat ulang" petani di Bangka Belitung untuk memperluas kebun ladanya.
Namun, animo yang besar para petani untuk berkebun komoditi khas pulau timah ini, tidak diiringi dengan ketersediaan bibit yang memadai. Maka jadilah kebutuhan bibit yang tidak sebanding dengan ketersediaan, apalagi musim kemarau yang berkepanjangan, menambah permasalahan kekurangan bibit yang menjadi-jadi.
Nah..., ilmu lama itu bersemi kembali. He...he..., kok seperti lirik lagu saja.
Iya..., ilmu yang penulis geluti puluhan tahun yang lalu itu, sepertinya baru sekarang menemui momentumnya. Kalau dulu, bibit lada satu ruas itu tak pernah digubris para petani lada di Bangka. Alasannya sih macam-macam. Mulai dari alasan teknis tentang pertumbuhan, yang katanya kurang bagus dibandingkan dengan bibit yang biasa digunakan oleh petani (petani menggunakan bibit stek tujuh ruas), sampai dengan alasan non teknis seperti merepotkan, karena harus memelihara bibit di polybag, dan lain-lain. Pokoknya, inovasi teknologi bibit satu ruas yang direkomendasikan lembaga penyuluhan pada waktu itu, tak laku, dan petani tetap yakin dengan pola konvensionalnya.
"Lain dulu, lain pula sekarang". Sepertinya ungkapan itu lebih tepat, sebagai jawaban mengapa petani lada di Bangka baru sekarang "getol" menggunakan teknologi baru tapi lama, bibit lada satu ruas ini. Ya jelas la... karena, dulu bibit itu begitu mudahnya didapat, kalaupun harus membeli, harganya pun sangat murah, bahkan atas dasar pertimbangan keluarga atau teman, bibit bisa dengan meminta saja tanpa bayar alias gratis.
Sekarang...? jangankan meminta atau gratis, mau membeli saja, sulitnya minta ampun. Kalupun ada, harganya..., woww... bisa-bisa mengurungkan niat untuk membuka kebun lada, yang sekarang harga jual lada kering, melambung dikisaran 150.000 sampai dengan 170.000 rupiah per kilogramnya. Suatu harga yang tak pernah terjadi selama sepuluh tahun terakhir ini. Suatu daya tarik tersendiri untuk mengembangkan usaha perkebunan lada.
Sebagai gambaran harga bibit, untuk berkebun lada seluas 1 ha, dibutuhknan bibit sebanyak 2.000 bibit. Dengan harga per polybag Rp. 10.000 saja (ada harga yang mencapai Rp. 15.000/bibit), tinggal mengalikan saja, yaitu dibutuhkan modal untuk membeli bibit sebesar Rp. 20.000.000. Suatu angka yang memberatkan, tertuama bagi petani yang baru memulai usaha.
Kondisi itu membuat pola penggunaan bibit lada satu ruas menjadi pilihan. Karena, disamping dapat menghemat bibit dan biaya, kelebihan bibit pola satu ruas ini pun menjanjikan pertumbuhan yang pasti, disebabkan bibit yang ditanam dilapangan sudah hidup dalam polybag.
Tantangan pun bersambuat peluang. Di Pondok Belajar ini, dengan modal "ilmu lama" sebagai PPL itupun dipraktekkan. Alhamdulillah, meskipun masih dalam skala kecil, pembibitan lada satu ruas mulai dikembangkan.
Sejalan dengan praktek tersebut, beberapa manfaat diperoleh. Sedikit keuntungan diperoleh sekedar untuk mengembalikan biaya produksi. Namun yang lebih penting adalah, beberapa petani dapat memanfaatkan pembibitan tersebut untuk belajar mengembangkan pembibitan lada satu ruas yang menjanjikan dan memberikan jalan keluar upaya memanfaatkan peluang mahalnya harga lada putih di pasaran.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar