Rabu, 27 Juli 2016

Tak terima hasil Pilkades, Ini solusinya.

Silang pendapat dan kepentingan bisa terjadi dimana-mana,  termasuk dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Bagaimana dan apa upaya yang dapat dilakukan menghadapi situasu sengketa atau perselisihan Pilkades...?
Yuk kite bahas sama-sama.


 

Pilkades adalah ajang demokrasi ditingkat lokal (baca: desa) dalam menentukan pemimpin (kepala desa), yang dilakukan secara langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan. Proses penentuan pemimpin desa dimaksud tidak terlepas dengan status kewenangan "otonom" yang dimiliki desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan. Suatu kewenangan yang bersifat khas, dan tidak dimiliki oleh unit pemerintahan setingkat desa, yaitu kelurahan, bahkan kecamatan sekalipun.

Pilkades dalam prakteknya,  tidak selalu berjalan  "lancar". Dalam sekalanya sendiri, pesta demokrasi ala desa ini, dapat saja berakhir dengan sengketa. Tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkades yang tidak menerima hasil akhir suatu Pilkades. Penyebabnya bisa macam-macam, namun terlepas dari silang pendapat tentang penyebab dan motif tidak diterimanya hasil Pilkades tersebut, maka silang pendapat dan sengketa terhadap hasil Pilkades harus diakomodir, harus diberikan peluang dan mekanisme penyelesainnya.

Pilkades sebagai amanat undang-undang

Apa dan bagaimana proses Pilkades, setidaknya harus mengacu kepada 2 (dua) ketentuan peraturan dan perundang-undangan: (pertama) Undang-Undang No. 6 Tahun Tahun 2014 Tentang Desa, dan (kedua) adalah Peraturan Daerah Kabupaten tempat Pilkades tersebut berlangsung.

Penyelenggaraan Pilkades berdasarkan UU Desa tersebut, dilaksanan secara serentak diseluruh wilayah Kabupaten (ayat (1) pasal 31), pelaksanaan secara serentak dan ketentuan-ketentuan lainnya yang merupakan kebijakan pelaksanaan Pilkades, ditetapkan dengan Peraturan daerah (Perda). Adapun ketentuan lain selain undang-undang dan Perda, Pilkades diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.


Kemungkinan perselisihan dan upaya penyelesaian segera.

Dari beberapa ketentuan yang dapat dijadikan acuan, Pasal 37 ayat (1) UU Desa mengamanatkan bahwa "Calon kepala desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak".  Tentu saja tidak sesederhana itu, justru suara terbanyak tersebut yang diperselisihkan.

Sumber penyebab perselisihan menjadi penting untuk diperhatikan dalam rangka penyelesaiannya. Misalnya, ketika penyebab perselisihannya ditingkat pemungutan dan penghitungan suara, maka peran penting penyelenggara ditingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi sangat penting. Seorang Ketua TPS, harus segera dapat menyelesaikan perselisihan pendapat terhadap dalam proses pemungutan dan penghitungan sura yang dia pimpin dan menjadi tanggungjawabnya. Keputusannya harus final, dan dengan keputusannya itu proses yang sedang berjalan tidak boleh terhenti.

Bagaimana jika masih ada saja pihak yang tidak dapat menerima kesepakatan dan/atau keputusan Ketua TPS ?
Sekali lagi, proses di TPS tidak boleh terhenti. Namun demikian, keberatan dapat diakomodir melalui Berita Acara keberatan, yang memang harus disiapkan.
Untuk apa...? Disinilah peran penyelenggara ditingkat atas, menjadikan bahan untuk menyelesaikannya.

Dengan demikian pemetaan permasalahan telah diperoleh sejak awal, dan dapat diselesaikan secara berjenjang. Ringkasnya, persoalan sekecil apapun tidak boleh dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian yang segera. Tidak boleh menunggu sampai persoalan menumpuk dan tertuju pada keputusan tingkat kabupaten.

Itu hanya satu contoh saja. Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan penyebab munculnya perselisihan proses dan hasil Pilkades yang lainnya. Oleh karena itu, lagi-lagi harus betul-betul diberdayakan kelembagaan penyelenggara Pilkades, sesuai peran dan tanggungjawabnya. Semua unsur struktur penyelenggara harus mengambil keputusan sesuai kewenangan yang diatur dalam UU.

Sederhananya, Pasal 37 ayat (6) UU Desa, dapat dijadikan dasar, yaitu:


 (2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.

(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Masih dalam upaya penyelesaian perselisihan secara sistematis, berjenjang, dan tuntas, kata kunci nya adalah tersusunnya regulasi proses pilkades dalam wujud peraturan ditingkat Kabupaten. Suatu produk hokum yang mengandung substansi: tatacara; unsur-unsur penyelenggara serta lingkup kewenangannya; kelengkapan administrasi dan logistic;  pembiayaan; bahkan system dan mekanisme penyelesaian perselisihan.

Ringkas kata, apa, siapa, bagaimana, kapan, dan macam-macam kebutuhan proses, hasil, dan tindaklanjut hasil pilkades, semua diatur didalamnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Alam 'Ku, mungkinkah kau akan pulih...,

'Bak tetesan embun yang halus menyelimuti tanaman di musim kemarau, meski tak kentara, namun bisa jadi cukup berarti bagi kehidupan ...