Minggu, 06 Agustus 2017

Lada murah, Lalu apa lagi...?



Lada murah, Lalu apa lagi...



Jungkir baliknya harga lada di pasaran akhir-akhir ini, sepertinya memudarkan satu-satunya harapan petani untuk bangkit memperbaikai kesejahteraannya.

Setelah harga karet - si tanaman handal kedua di Bangka tercinta setelah lada - yang tak kunjung membaik, kini menyusul harga lada yang terjun bebas, sampai dengan separuh dari harga biasanya.
http://www.produknaturalnusantara.com/wp-content/uploads/2013/07/panduan-cara-budidaya-tanaman-lada-merica-natural-nusantara-distributor-resmi-pupuk-organik-nasa-pocnasa-hormonik-supernasa-pentana-pestona-power-nutrition-bvr-glio-metilat-plus-npk-urea-greenstar.jpg

Sudah menjadi maklum dikalangan petani, bahwa tanaman manja dan banyak minta urus ini, tidak mudah membudidayakannya. Menjelang usia tanaman "ngasel" (baca=produksi), adalah periode pengorbanan yang cukup berat bagi petani. Pengorbanan itu dimulai dari pembukaan lahan, persiapan penanaman, sampai pada pembelian bibit dan junjung atau tajar tanaman. Semua membutuhkan biaya yang membuat dahi berkerut memikirkannya.
Bukan hanya itu, biaya pemeliharaan yang sudah ditanamkan di kebun lada, juga bukan jaminan tanaman menghasilkan sesuai harapan. Datangnya penyakit yang tiba-tiba dan tidak diundang, bisa saja menghempaskan harapan yang lama ditungu-tunggu.
Hanya harga jual dipasaran yang mendongkrak semangat juang untuk terus berkebun lada. Tapi itu dulu, saat ini harga lada terus turun seperti tak ada yang mampu mengendalikannya.
Jika kondisi ini tak kunjung dapat diatasi, jangan heran bila bangkitnya lada sebagai komiditi handal di Pulau Bangka, hanya akan menjadi hayalan dan kenangan belaka.
Lalu, apalagi...?
Entahlah, bukan pesimis atau putus asa; yang pasti Lada dan karet memang tumpuan kehidupan msyarakat terbesar di Pulau Bangka kita
ni.
Pasti ada yang bisa diperbuat, setidaknya oleh yang berkenan dan berwenang mengambil keputusan.
Komitmen terhadap apapun terkait dengan keberpihakan terhadap petani lada dan karet, sudah cukup menjadi bukti mengangkat harkat ekonomi kita orang Bangka ni.
Ayo, ditunggu langkah kongkritnya, bukan yang laen.
 
 

Rabu, 28 Desember 2016

Memulai Karier dari Desa

Anda "orang kampung?", dan aktif dengan berbagai kegiatan di kampung atau desa Anda...?
Teruskanlah...!, Karena segalanya bisa dimulai dari dari sini, dimana Anda bergelut dengan beragam aktifitas dilingkungan Anda dibesarkan, bergaul, bahkan mungkin, desa dimana Anda dilahirkan.
 
Percaya atau tidak, keaktifan di desa akan membawa Anda pada suatu jenjang karier, yang bisa jadi awalnya tidak pernah direncanakan, dan memang tidaklah perlu "ngotot" direncanakan.
 
Ingtlah, tidak ada yang "instan" dalam hidup ini, semuanya melalui proses. Apa yang kita lakukan hari ini, akan menambah "point" untuk kematangan kapasitas pribadi kita di masa yang akan datang. Pada waktunya nanti, segalanya akan terbukti, meski sekarang belum akan Anda rasakan.
 
Coba perhatikan seorang Kepala Desa, yang sekarang bisa jadi menjadi mitra atau "atasan" Anda (bila Anda aktif di pemerintahan desa, misalnya). Jarang sekali kita menemukan seorang yang menjadi atau terpilih sebagai Kepala Desa, adalah seorang yang secara tiba-tiba, atau ujug-ujug tanpa proses yang selama ini mengantarkan kepercayaan masyarakat untuk dia duduk di posisi kepala desa tersebut. Biasanya, Dia sebelumnya sudah bergelut dibidang yang langsung atau tidak langsung, berhubungan dengan kegiatan pemerintahan atau kemasyarakatan lainnya.
 
Hal tersebut dapat dimaklumi, karena secara internal yang bersangkutan dalam proses tersebut begitu banyak mengenal dan akrab dengan kehidupan bidang yang namanya pemerintahan dan kemasyarakatan desa. Demikian pula secara eksternal, beragam aktifitasnya secara tidak disengaja atau tidak disadari membuat Dia dikenal dan bisa jadi disukai masyarakat
 
Itu kalau keaktifan Anda ingin dikaitkan dengan suatu jenjang jabatan terhormat pelayan masyarakat yang namanya Kepala Desa atau disingkat KADES.
 
Namun, tentu saja tidaklah harus semangat dan aktifitas di desa itu dikaitkan dengan suatu jabatan tertentu. Yang ingin diungkapan disini adalah, apapun aktifitas kita di desa adalah merupakan proses pembentukan sikap, jiwa dan perilaku yang positif, yang pada waktunya akan dirasakan manfaatnya sebagai pengalaman yang membuahkan jiwa kepemimpinan ditengah-tengan masyarakat.
 
Ada banyak contoh karier seseorang saat ini, yang sebenarnya merupakan hasil dari proses "berpengalaman" dengan beragam kegiatan yang sebelumnya digeluti. Tak perlulah diberikan contoh satu persatu, pasti Anda dengan cepat dapat menginventarisirnya.
 
Begitupun dengan jenis dan ragam kegiatan yang dapat Anda geluti mulai sekarang. Anda bisa memulai atau meneruskan kegiatan anda sebagai pengurus atau anggota Karang Taruna, Lembaga pemberdayaan dan Lembaga kemasyarakatan, ketua rukun tetangga, kepala dusun, perangkat desa, atau kegiatan kelembagaan lainnya yang ada di desa. Pokoknya dan yang penting adalah positif, sekali lagi positif.
 
Namun demikian, dan ini merupakan pesan dan kunci tulisan ini, jangan lupa jaga keikhlasan.
Keikhlasan itu sebagai "lokomotif" pendorong semangat beraktifitas;
Keikhlasan itu sebagai penjaga hati untuk tidak terburu nafsu meraih ambisi kedudukan yang kadangkala memang belum waktunya;
Keikhlasan itu, membuat siapapun rekan kerja kita terkesan dan senang dengan kita; dan...
Keikhlasan itu, Allah yang akan membalasnya.
Yakin....?
Selamat beraktifitas.
 
 
 

Senin, 03 Oktober 2016

mau hujan, mau panas. Sama saja, semua memberikan nikmat. Asal....,

Ya, asal dijaga.
Dijaga, dirawat, maka "ia" akan merawat kita. Itulah Alam.
Bahkan lebih dari sekadar merawat kita manusia, bahkan memberikan kehidupan.

Tak pelak, hidup kita tergantung alam, bukan sebaliknya.
Sepandai dan sehebat siapapun manusia, rumus itu tak mudah dibantah.
Kita bisa tidur dengan nyenyak, ketika alam sekitar kita masih terjaga baik. Mau hujan ataupun panas, alam memberikan respon positif buat kebaikan hidup manusia.

 
merawat alam, bila kita ingin dirawatnya

Namun, apa ia seperti itu keadaannya kini.
Entahlah. Perasaan "serba salah" sepertinya pertanda kita tidak menunaikan kewajiban kita menjaga "Sang Alam".
Hujan, salah; panaspun gelisah. "Hantu" banjir dan kekeringan terus terngiang sebagai ketakutan yang selalu hadir mengiringi panas dan hujan yang adanya wajar sebagai kodrat alamiah dari Sang Pencipta, yang kini terpaksa disikapi dengan ketakutan yang tak wajar itu.

Lantas, perasaan tak bersyukur dengan fenomena wajar alam, yang semestinya datang sebagai keberkahan hidup itu, justru merubah perilaku hidup yang menambah kemurkaan alam.

Kendatipun demikian, tak ada kata terlambat, mungkin bukan sekedar ungkapan penghibur dari suatu rasa penyesalan.

Alam wajib dijaga dan dirawat, kalau kita ingin "ia" berperilaku sama seperti yang kita kehendaki.
Kembalikan fungsi dan hak-hak alam yang lestari, untuk kehidupan yang berkah dan bersyukur.

Semoga.

Rabu, 27 Juli 2016

Tak terima hasil Pilkades, Ini solusinya.

Silang pendapat dan kepentingan bisa terjadi dimana-mana,  termasuk dalam proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades).
Bagaimana dan apa upaya yang dapat dilakukan menghadapi situasu sengketa atau perselisihan Pilkades...?
Yuk kite bahas sama-sama.


 

Pilkades adalah ajang demokrasi ditingkat lokal (baca: desa) dalam menentukan pemimpin (kepala desa), yang dilakukan secara langsung oleh penduduk desa yang bersangkutan. Proses penentuan pemimpin desa dimaksud tidak terlepas dengan status kewenangan "otonom" yang dimiliki desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan. Suatu kewenangan yang bersifat khas, dan tidak dimiliki oleh unit pemerintahan setingkat desa, yaitu kelurahan, bahkan kecamatan sekalipun.

Pilkades dalam prakteknya,  tidak selalu berjalan  "lancar". Dalam sekalanya sendiri, pesta demokrasi ala desa ini, dapat saja berakhir dengan sengketa. Tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang terlibat dalam Pilkades yang tidak menerima hasil akhir suatu Pilkades. Penyebabnya bisa macam-macam, namun terlepas dari silang pendapat tentang penyebab dan motif tidak diterimanya hasil Pilkades tersebut, maka silang pendapat dan sengketa terhadap hasil Pilkades harus diakomodir, harus diberikan peluang dan mekanisme penyelesainnya.

Pilkades sebagai amanat undang-undang

Apa dan bagaimana proses Pilkades, setidaknya harus mengacu kepada 2 (dua) ketentuan peraturan dan perundang-undangan: (pertama) Undang-Undang No. 6 Tahun Tahun 2014 Tentang Desa, dan (kedua) adalah Peraturan Daerah Kabupaten tempat Pilkades tersebut berlangsung.

Penyelenggaraan Pilkades berdasarkan UU Desa tersebut, dilaksanan secara serentak diseluruh wilayah Kabupaten (ayat (1) pasal 31), pelaksanaan secara serentak dan ketentuan-ketentuan lainnya yang merupakan kebijakan pelaksanaan Pilkades, ditetapkan dengan Peraturan daerah (Perda). Adapun ketentuan lain selain undang-undang dan Perda, Pilkades diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.


Kemungkinan perselisihan dan upaya penyelesaian segera.

Dari beberapa ketentuan yang dapat dijadikan acuan, Pasal 37 ayat (1) UU Desa mengamanatkan bahwa "Calon kepala desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak".  Tentu saja tidak sesederhana itu, justru suara terbanyak tersebut yang diperselisihkan.

Sumber penyebab perselisihan menjadi penting untuk diperhatikan dalam rangka penyelesaiannya. Misalnya, ketika penyebab perselisihannya ditingkat pemungutan dan penghitungan suara, maka peran penting penyelenggara ditingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS) menjadi sangat penting. Seorang Ketua TPS, harus segera dapat menyelesaikan perselisihan pendapat terhadap dalam proses pemungutan dan penghitungan sura yang dia pimpin dan menjadi tanggungjawabnya. Keputusannya harus final, dan dengan keputusannya itu proses yang sedang berjalan tidak boleh terhenti.

Bagaimana jika masih ada saja pihak yang tidak dapat menerima kesepakatan dan/atau keputusan Ketua TPS ?
Sekali lagi, proses di TPS tidak boleh terhenti. Namun demikian, keberatan dapat diakomodir melalui Berita Acara keberatan, yang memang harus disiapkan.
Untuk apa...? Disinilah peran penyelenggara ditingkat atas, menjadikan bahan untuk menyelesaikannya.

Dengan demikian pemetaan permasalahan telah diperoleh sejak awal, dan dapat diselesaikan secara berjenjang. Ringkasnya, persoalan sekecil apapun tidak boleh dibiarkan mengambang tanpa penyelesaian yang segera. Tidak boleh menunggu sampai persoalan menumpuk dan tertuju pada keputusan tingkat kabupaten.

Itu hanya satu contoh saja. Begitu banyak kemungkinan-kemungkinan penyebab munculnya perselisihan proses dan hasil Pilkades yang lainnya. Oleh karena itu, lagi-lagi harus betul-betul diberdayakan kelembagaan penyelenggara Pilkades, sesuai peran dan tanggungjawabnya. Semua unsur struktur penyelenggara harus mengambil keputusan sesuai kewenangan yang diatur dalam UU.

Sederhananya, Pasal 37 ayat (6) UU Desa, dapat dijadikan dasar, yaitu:


 (2) Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.

(3) Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota.
(5) Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota.
(6) Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Masih dalam upaya penyelesaian perselisihan secara sistematis, berjenjang, dan tuntas, kata kunci nya adalah tersusunnya regulasi proses pilkades dalam wujud peraturan ditingkat Kabupaten. Suatu produk hokum yang mengandung substansi: tatacara; unsur-unsur penyelenggara serta lingkup kewenangannya; kelengkapan administrasi dan logistic;  pembiayaan; bahkan system dan mekanisme penyelesaian perselisihan.

Ringkas kata, apa, siapa, bagaimana, kapan, dan macam-macam kebutuhan proses, hasil, dan tindaklanjut hasil pilkades, semua diatur didalamnya.

 

Selasa, 26 Juli 2016

Kebaikan ala Ahyung (Petani Tanaman Seledri)

Ada yg unik dari petani yg satu ini. Adalah Ahyung seorang petani sayuran, meyakini bhwa utk mmenolong diri sendiri, kita harus menolong orang lain.

"Ka nak ngape wo... 'gi kesini", sergahnya dengan logar Bangka yang kental, menyambut kedatangan kami di hamparan kebun seledri dn kacangpanjangnya yg tumbuh subur....

"Ku nak belajar nanam tanaman sop kek ka" jawab saya mengemukakan tujuan mengunjunginya.
"Cmane nak belajar kek ku, sedang ku bai dak tamat SD", katanya mnjawab tanpa menurunkan nada suara medok nya.

"Cem ni bai lah", sambungnya seolah tak mberi kesempatan saya merespon, "Mun nak belajar, langsung bekebun sendirik la..." "Kelak ku pacak mberik tau care e...
Hmm..., gayung mulai bersambut ni...
 
 
Singkat cerita, kami membeli beberapa bibit tanaman sop/seledri, setelah mendengarkan "tutorial" panjang ttg praktek mengusahakan tanaman ini.

Anehnya, beliau membedakan harga jual bibit berdasarkan niat dn tujuan pembeli. Bila tujuannya utk pembibitan dn belajar, harga 50% lebih murah dari utk dijual kembali alias dagang.


"Kite nak bebuat baek kek orang, kalok kite nak maju", demikian "amanat" beliau menutup pmbicaraan.

Ya..., belajar dapat dimanapun. Termasuk dari seorang Petani sayur yang sederhana.

Selasa, 05 Juli 2016

bukan ulama tapi pengin punya pesantren

"Hmm..., ana-ana wae".
Tapi entahlah, pikiran itu terus mengganggu dan mengganggu. Dari pada kepikiran terus, 'ku paksain saja menuangkannya dalam "laman blog gratis" ini. Mau ada yang baca syukur, 'gak dibaca juga nggak apa-apa. Hitung-hitung dari pada jadi 'bisul'... tulis ahh.... (sambil ngarepp).

Ya jelas la..., setau yang 'ku tau, pesantren itu tempatnya orang belajar dan memperdalam agama. Naah... kalo sudah begitu tentu saja ada yang mengajar. Itu dia masalahnya. Untuk mengajar ilmu yang satu ini, tentu saja harus punya modal ilmu agama yang mumpuni. Ilmu yang pastinya diperoleh dari belajar di institusi pendidikan agama dan/atau pesantren juga. 


Nah saya..., boro-boro tamat pesantren, ilmu agama saja hanya diperoleh dari selama mengikuti pendidikan formal. Lantas mengapa ingin punya atau mendirikan pesantren...?

Itulah anehnya pikiran saya ini. 
Tapi namanya juga pikiran, boleh-boleh saja kali. (menghibur diri)


Pikir dan pemikiran itu justru muncul dari hobby saya berkebun.
Kesukaan berkebun itu membuat saya tiada seharipun melewatkan mengunjungi kebun yang kebetulan tak jauh dari rumah kediaman 'ku. Jam berapapun pulang dari bekerja sebagai pelayan masyarakat, pasti 'ku luangkan untuk "kotak-katik" di kebun kesayangan.
Yang dikerjain dikebun, macam-macam dah. Dari memberi makan ternak ayam dan ikan, sampai bersih-bersih tanaman ang beraneka ragam jenisnya.

Kebun yang tak begitu luas itu (3 hektaran) akhirnya menjadi tempat tamasya gratis bagi saya pribadi dan teman-teman.
Pondok sederhana pun melengkapi kebun sebagai tempat bercerita tentang apapun.


Mungkin karena keinginan agar lebih bermanfaat bagi kemaslahatan ilmu dan agama, makanya pemikiran untuk mendirikan pesantren di lokasi kebun tersebut, menjadi "khayalan" yang belum kunjung terlaksana. Apalagi di desa lokasi kebun berada, memang belum ada satupun pesantren.

Ya..., kata adalah doa, dan setiap doa pasti di dengar oleh 'Nya.
Bantu doa ya....
Salam.

 sudut kebun 'ku


Selasa, 02 Februari 2016

Fokus Desa, Jelas Capaian

Membangun desa itu harus fokus. 
Karna dengan fokus, arah dan keberhasilan yang mau diraih menjadi jelas, 'dak ngambang. 
Untungnya juga, sumberdaya dan modal yang "terbatas itu" akan lebih berdayamanfaat.


Fokus arah pembangunan desa memiliki efek yang jauh lebih baik, dibandingkan degan pembangunan yang terkesan asal merata. Tahapan pencapaian misalnya, semakin terukur dan nyata, bahkan bisa dilihat dan dirasakan, meskipun sesuai tahapannya belum sampai ke puncak tujuan, namun dengan arah yang jelas, semangat semua 'stake holder' tetap terjaga.

Tak ubahnya seperti sekelompok orang yang sedang mendaki sebuah gunung, semua anggota kelompok ngerti, kalau tujuan akhir mereka adalah puncak bukit atau gunung. Jadi, kalau pendakian baru sampai di pertengahan, semua tahu kalau mereka harus tetap berupaya meraih cita-cita mereka, yaitu puncak gunung.

Masalahnya tinggal bagaimana menentukan fokus desa itu.

Na...hh, kalau yang satu ini, sepertinya 'gak usah dijelasin lagi ni. Semua sudah lengkap tuh di desa-desa. Mulai dari metoda, materi, sampai sumberdaya manusia, amat sering dibahas dalam kesempatan yang namanya pelatihan perecanaan desa. Tinggal komitmen saja.

Yang pasti, perhatikan betul potensi dan permasalahan desa. Selain itu, kebijakan dan aturan mesti dilakoni. Dan..., jangan lupa, faktor sumber dan ketersediaan anggaran, mesti jadi landasan pertimbangan dalam merumuskan fokus desa.

Lantas, letak fokusnya dimana...? 
Ya... pasti tentu di dokumen perecanaannya. Dokumen mana, untuk secara konsisten dipedomani dan di-lak-sa-na-kan. Bukan dokumen yang "nginep" dilaci meja.

Desa yang fokus itu yang bagaimana...?
Itu tu..., berdasarkan potensi, ...., ...... dst dst.
(hmm...., ada yang menggerutu, ini ngajari apa marahi ???) Nggak la..., ini namanya menyayangi, sambil ngingatin.

Penasaran to....,
Yok kita belajar. belajar fokus !
Salam,



Entri yang Diunggulkan

Alam 'Ku, mungkinkah kau akan pulih...,

'Bak tetesan embun yang halus menyelimuti tanaman di musim kemarau, meski tak kentara, namun bisa jadi cukup berarti bagi kehidupan ...